Fenomena gejala religiusitas modern saat ini semakin menggeliat dan mengkristal secara maknawi menjadi korpus-korpus doktrinal kaum millenial, city kommunal maupun kaum profesional dengan jargon Hijrah’nya, entah itu dengan desain hijrah industrial, komersial, dsb, padahal hijrah itu ada dua macam (hijrah makaniyah/fiskal & haliyah/spiritual).
Fenomena diatas terlihat dengan adanya massifitas kelompok yang dominan menginterpretasikan perihal keimanan & keislaman kebanyakan sebatas pd dimensi kebahasaan (tekstual) dan sebagai aktivitas pengetahuan kognitif belaka, akhirnya berimplikasi pada penekanan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dijewantahkan hanya melalui simbolik eksistensi luaran semata seperti penekanan memakai atribut keshalehan lahiriah, berkutat pd kultur egosentris ujubiyah/merasa paling…, dan ada juga praktik religiusitas tsb dilakukan secara narsis melalui media politik kekuasaan pragmatis.
Tak ayal seringkali hal diatas berdampak pd hakikat inner dan power iman & islam kian pudar, hilang dan raibnya makna kedalaman agama, sirnanya kebersahajaan dan kerendahan hati dalam memproyeksikan keimanannya atas Realitas Absolut yang dikukuhi dalam agama.
Ada beberapa Nasihat-nasihat Esensial terutarakan oleh para ulama dulu:
Parameter keshalehan seseorang bukan terletak pada jubah atau sorban yang dia kenakan, sebab kealiman adalah karakter yang melekat di dalam jiwa. Pakaian yang lusuh tidak akan merubah kualitasnya. (Rumi).
ذنبك المستور لا يَجعلك أهلاً للخَوض في أهل الذنب المَفضوح لا تَغتَرّ بحلم الله عليك
“Dosamu yg tertutupi janganlah membuat dirimu seolah2 berhak untuk menghukumi, menjelek2kan, menghinakan kpd mrk yg dosany terkuak, jnganlah engkau terlena dg klembutn Allah kpdmu“.
“Jika melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia kerana mungkin satu hari nanti dia akan insaf dan bertaubat atas kesalahannya.”
“Jangan biarkan hati Anda mendapatkan kesenangan dengan pujian dari orang lain atau Anda akan sedih dengan kecaman mereka.” (Imam Al Ghazali).
اهل الفضل هم اهل الفضل مالم يروا فضلهم
“Orang mulia adalah orang yang mulia sepanjang tidak memperhatikan kemuliaannya.” (Fudlail ibn Iyadl).
الرجل كلما اتسع فكره وعلمه اتسع قلبه وصدره
“Manakala pikiran dan pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka hati dan dadanya lapang (menerima perbedaan)”.
وكلما زاد فقهه ونظره قل انكاره على الناس
“Manakala pengetahuan dan pandangn seseorg makin luas dan tinggi, ia jarang sekali menyalahkan orang lain“.
لَوْ طَغَى حُبُّ الرُّوْحِ عَلَى حُبِّ الْجَسَدِ لَأَغْلَقَتْ دَوْرَ الْأَزيَاءِ أَبْوَابَهَا
“Seandainya cinta ruhaniah melampaui cinta jasmani niscaya hal itu pakaian tak berguna lagi” (Al-Rawajiyyah, Hikam wa Amtsal, h. 8).
Mari terus mengaji dan menggali sampai ketempat galian diri!
Wallahu a’lam
By: Ahmad Idhofi
Komentar Terbaru