Tasawuf selama ini masih banyak disalah pahami oleh sebagian orang, tasawuf difahami secara parsial dan tidak seimbang. Tasawuf masih dipahami sebagai batu sandungan kemajuan peradaban karena konsep kehidupannya tidak relevan dan adaptif terhadap tantangan zaman, cenderung konservatif dan fatalistik, mengisolir dan defensif. Dapat dimaklumi kekeliruan pemahaman akan kesimpulan tersebut berawal dari pengambilan premis yang tidak tepat. Kajian yang tidak komprehensip oleh sebagian kalangan yang akhirnya berakibat penolakan terhadap tasawuf.
Deskripsi konseptual tasawuf telah dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, beliau menjelaskan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara membersihkan hati dan mensucikan jiwa, guna memperoleh kebahagiaan sejati. Tasawuf juga dapat diartikan sebagai cara atau adab batiniah untuk mencapai makrifat (pengetahuan hakiki) dalam artian memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT, sehingga tasawuf telah berkontribusi pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun perwujudan intelektual. Kemudian al-Taftazani memaparkan bahwa tasawuf tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan oleh mereka yang anti terhadap tasawuf, tetapi ia merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah baru, merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidupnya yang akan menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialis, hedonis dan konsumtif. Maka konsep tasawuf yang diberikan oleh al-Taftazani dapat berfungsi sebagai muara bagi tasawuf sebagai akhlak, yakni bentuk keperilakuan sufi yang berdasarkan kesucian hati.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa tasawuf adalah moralitas dalam perspektif Islam. Dalam hal ini Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Madarij al-Salikin, dengan para pembahas tasawuf yang telah sependapat, menjelaskan bahwa “Tasawuf adalah moral”. Pendapat ini juga diungkap oleh al-Kattani yang mengatakan “Tasawuf adalah moral”. Siapa di antara kamu yang semakin bermoral, tentulah jiwanya pun semakin jernih.” Atas dasar hal ini, jelaslah bahwa pada dasarnya tasawuf berarti moral yang bertumpu pada kejernihan hati sebagaimana pemahaman tersebut sangat korelatif dengan hadits nabi “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)”. Dengan pemaknaan seperti ini, tasawuf juga berarti semangat atau nilai spiritual Islam, karena semua ajaran Islam dikonstruksi di atas landasan moral.
Tanggung Jawab Tasawuf terhadap Generasi Milenial
Saat ini tidak sedikit umat manusia telah kehilangan jalinan persaudaraan dan hubungan kemanusiaan. Tidak ada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip agama, tidak mengikuti sunnah Nabi. Tidak ada cinta, kasih sayang, dan keadilan; apa yang tersisa adalah manipulasi, eksploitasi, ketidak jujuran, keserakahan. Untuk konteks inilah sufisme menawarkan obat untuk kejahatan-kejahatan ini. Sufisme menawarkan dukungan kepada setiap individu dengan melatihnya di dalam nilainilai yang diperlukan seperti menghormati hubungan dan kehidupan serta apresiasi kepada cinta.
Krisis dekadensi moral secara umum dan berawal terjadi pada kalangan anak muda, karena secara everage fase tersebut merupakan masa pencarian dan penjajakan jati diri, mereka mengalami ketimpangan dan ketidak harmonisan jiwa akibat dari salah pergaulan dan mininya bimbingan dari orang tua dan gurunya, mereka banyak menerima oase kehidupan agama dalam bingkai mauidhah hasanah, namun tidak menemukan model panutan kehidupan dalan bingkai uswatun hasanah. Problem tersebut muncul karena konsep keberimanan hanya dapat menyentuh dimensi eksoterik tanpa menyelami pada dimensi esoterik, hal ini diperparah dengan model implementasi dari konsep dan sistem pendidikan yang selama ini tidak ideal dengan hanya mengandalkan dan menekankan perkembangan kompetensi kognitif semata, tidak dinamis dengan kompetensi afektif dan psikomotorik mereka.
Dalam konsep sufisme mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai sufistik sebagai berikut: Sufi mengajarkan dan mengarahkan kepada kehidupan dan nilai-nilai yang dipegang oleh Nabi Muhammad SAW, mengajarkan untuk menghormati dan menghargai orang lain dan perlakuan yang sama untuk semua orang, mengajarkan cinta kepada manusia, hewan, bunga, buah-buahan, daun, dan pohon, siang dan malam, dan semua ciptaan Tuhan, mengajarkan perkataan yang sopan, sehingga tidak ada orang yang terluka, karena cinta adalah agama sufi, mengajarkan kemurnian pandangan untuk memastikan kemurnian jiwa, Sufisme mengajarkan kita untuk menghindari hal-hal yang terlarang, Sufisme mengajarkan kita untuk tidak menggunakan tangan dalam setiap perbuatan yang salah.
Terdapat tiga pokok dasar penting dalam mendisain generasi milenial:
Pertama, Tasawuf menampilkan pribadi yang agresif dan progresif sebagai pribadi Mujahid yang selalu siap dan tanggap, pribadi tersebut dijewantahkan dalam: (1) pemaknaan nilai-nilai utama tasawuf ke dalam praksis relasi sosial berskala lokal, nasional, dan global, (2) Respon terhadap problem-problem dunia, seperti dalam pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik.
Kedua, generasi milenial (disebut juga generasi Y) adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1981 sampai dengan 2000. Mereka memiliki kurang lebih sembilan poin karakteristik antara lain: percaya pada nilai-nilai moral dan sosial, memiliki rasa optimis yang tinggi, percaya diri, berfokus pada prestasi, dikuasai oleh teknologi dan fanatik terhadap pengunaan media social dsb. Dari beberapa model karakter mereka tersebut jika diarahkan dan dibina dengan baik maka akan menjadi pribadi Mujtahid dalam artian umum menjadi pribadi yang kompeten dan kontributif dalam problem solving, memiliki dedikasi yang tinggi dalam menggerakkan dan membangun masyarakatnya berdasarkan karakteristiknya yang aktif, kreatif dan inovatif.
Ketiga, Perhatian serius tasawuf kepada generasi milenial dapat dipetakan dengan tiga bentuk tanggung jawab, yaitu: (a) Pengembangan karakter yang positif terhadap delapan poin karakter profetik yaitu: (1) Murah hati seperti Nabi Ibrahim AS, (2) Ridha seperti Nabi Ismail AS, (3) Sabar seperti Nabi Ayub AS, (4) Mampu berkomunikasi melalui isyarat dan symbol seperti Nabi Zakaria AS, (5) Uzlah atau banyak tafakkur seperti Nabi Yahya AS, (6) Pola hidup sederhana seperti Nabi Musa AS, (7) Memiliki karakter kesatria pengembara seperti Nabi Isa AS, dan (8) Rendah hati seperti Nabi Muhammad SAW. (b) Pembinaan etika sosial, dan (c) Peneguhan arah dan spiritualitas hidup sampai menuju insan kamil. Bentuk terakhir ini merupakan puncak tanggung jawab tasawuf terhadap generasi milenial. Isi puncak ini adalah dengan bimbingan tasawuf, apapun yang dimiliki oleh generasi milenial merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk membangun prestasi hidup mereka. Problem apapun yang dihadapi oleh mereka dihadapinya dengan segenap kemantapan spiritualitas dengan kecerdasan usaha dan kesungguhan doa. Hidupnya diorientasikan untuk pengembangan prestasi dan peningkatan kontribusi kebaikan dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT. Semua ini merupakan manifestasi “al-ihsan” dalam hadits Nabi SAW yang menjadi akar dari sufisme.
By: Ahmad Idhofi
Komentar Terbaru